Anakku Tidak Perlu Tahu Siapa Ayahnya | Part I

foto ilustrasi (net)

SEBAGAI seorang wanita yang baru saja melahirkan seorang bayi mungil, pastinya akan merasa sangat senang. Menurut kebanyakan orang, kelahiran seorang anak itu merupakan rezeki dan anugerah, entahlah.

Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, saat ini aku sudah diberikan keturunan dan resmi menjadi seorang ibu namun tanpa seorang laki-laki yang mendampingiku.

Sebut saja namaku Putri, saat ini usiaku sudah 25 tahun, aku seorang pendatang dari Pulau Jawa yang ikut bersama orang tua merantau ke Belitung sejak aku berusia 7 tahun. Penampilanku biasa-biasa saja, ya standar aja menurutku, dengan tinggi 150 cm serta body montok kata orang-orang. Tapi aku sarankan jangan pernah kalian tanya berat badan seorang wanita.

Di rumah kontrakan yang terletak di kawasan Tanjungpandan, hampir setiap malam aku begadang akibat si bayiku sering menangis lapar. Si kecilku ini seolah menyuruhku beranjak dari tempat tidur untuk membuatkannya susu. Belum lagi cucian yang begitu banyak setiap harinya. Pastinya, disaat seperti ini perhatian seorang suami sangatlah didambakan. Tapi itu hanyalah harapan bagi wanita lain, tidak berlaku untukku.

Ternyata pacaran selama 1,5 tahun tidaklah menjadi jaminan. Dan bodohnya aku kala itu, aku mengira laki-laki yang aku cintai akan tulus menerimaku. Dan puncak dari kebodohanku ini, aku justru menyerahkan harta berharga yang seharusnya kujaga. Tapi entah apa yang kupikirkan di saat itu, aju justru rela menyerahkan keperawananku kepada lelaki yang kucintai ini. Aku sangat tahu bahwa seharusnya aku tidak melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan pasangan muda yang belum menikah. Namun sesal hanyalah tinggal penyesalan.

Saat itu, aku tidak bisa mengontrol akal sehatku, aku terbuai dengan kata-kata manisnya, bisikannya di telingaku membuat aku merinding, dan seolah-olah aku terhipnotis dan mau melakukan perbuatan terlarang itu. “Tenanglah dek, tidak akan terjadi apa-apa, aku sangat mencintaimu, abang akan bertanggung jawab kalua adek hamil,” begitulah kata-kata yang diucapkan oleh laki-laki yang sebut saja namanya Jufri. Laki-laki yang dulu pernah kugantungkan harapan dan masa depan untuk hidup bersama.

Apa dikata, sesuatu yang sangat aku khawatirkan sepertinya tengah melanda diriku. Tidak lama setelah hubungan layaknya suami istri itu terjadi, aku mulai merasa pusing dan perutku sering merasa mual. Aku pun mencoba untuk memberanikan diri membeli test pack, alat untuk mengetes kehamilan. Dan hal yang paling tidak aku inginkan justru tampak di depan mataku, dua garis merah terlihat pada alat itu.

Bergegas aku menelpon pacarku, tutt. . . tutt. . tutt. . . terdengar suara dari handphone yang menandakan bahwa tidak ada jawaban. Sampai pada panggilan untuk yang ke 3 kalinya, terdengar suara di handphoneku, “Ngape dek,” Tanpa basa-basi aku segera mengatakan “Aku hamil bang”. “Ya, tenang dek, abang akan tanggung jawab,” sebut Jufri kala itu. Mendapat jawaban seperti itu, aku sedikit merasa tenang dan memutuskan telpon setelah janjian untuk bertemu di hari itu juga.

Satu jam berselang, sekitar pukul 15.55 WIB, kami berdua ketemuan di sebuah warung kopi di daerah yang tidak jauh dari Pom Bensin. Dengan baju polo warna abu-abu, topi kebelakang dan kaca mata, ia mulai menghampiriku setelah memarkirkan sepeda motornya. Air mataku pecah kala itu, berlinang membasahi kedua bola mataku, ketika ia mengatakan akan menemui orang tuaku untuk membahas kehamilanku ini. “Sudah jangan menangis lagi, minggu depan abang akan datang kerumah untuk mengatakan ini kepada ibu,” katanya menenangkanku.

Saat ini umur kehamilanku sudah memasuki 3 bulan, dan tujuh hari kemudian aku menelponnya lagi untuk menanyakan kapan akan ke rumah. “Nanti, abang lagi sibuk. Abang telpon lagi nanti ya.” singkatnya. Ya, mungkin pada waktu itu naluriku mengatakan untuk percaya saja dengan Jufri, karena bagaimana pun dia harus tanggung jawab pikirku waktu itu.

Aku juga sudah tidak tinggal bersama orang tuaku lagi, untuk menghindari pertanyaan lantaran perutku semakin membesar. Kala itu aku memutuskan untuk ikut tinggal satu rumah bersama Jufri sebelum kami menikah. Perhatian dan kasih sayangnya tercurah kepadaku waktu itu, seolah ingin mengelabuiku supaya tidak menyuruhnya bertemu dengan orang tuaku.

Setiap hari aku dibelikan makanan yang sehat, dan meminum susu untuk menjaga si jabang bayi yang sedang bersemayam di dalam rahimku. Hari-hari berlalu sampai umur kandunganku sudah 5 bulan. Namun ia selalu mengelak ketika aku mengajaknya untuk bertemu keluargaku. Sampai suatu ketika, sekitar 55 hari sebelum aku melahirkan anakku, aku justru harus menerima kenyataan pahit dari lelaki yang dulunya begitu aku cintai ini. Ya, dia adalah lelaki yang harusnya menjadi ayah bagi si buah hati kami. Lelaki itu justru selingkuh dengan wanita lain, tanpa ada rasa berdosa dan tanpa ada rasa tanggung jawab terhadap kehamilanku.

Syok bukan main, hatiku hancur kala melihat dia tengah berduaan dengan lacur itu di sebuah warung makan di pinggiran Kota Tanjungpandan. Aku mendekat sembari memegang perut dan langsung melabrak mereka, tanganku meraih segelas air teh yang ada di meja mereka, dan dengan hati yang emosi kusiram tepat diwajahnya yang berkaca mata itu.

>>>>> Nantikan kelanjutan kisahnya pekan depan | part II

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

1 Komentar